Kamis, 25 Oktober 2007

Pemerintah meremehkan kenaikan harga minyak

[Bisnis Indonesia] - Pernyataan-pernyataan pemerintah, baik Wapres Jusuf Kalla maupun Menko Perekonomian Boediono terkesan meremehkan dampak kenaikan harga minyak. Akan lebih bijaksana jika pemerintah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi yang matang. Kita tidak boleh meremehkan dampak kenaikan harga minyak dunia saat ini.

Mungkin saja dampak fiskal kenaikan harga minyak bisa dikendalikan pada jangka pendek, apalagi penerimaan fiskal memang meningkat. Namun jangan lupa, subsidi minyak juga akan bertambah. Artinya, kalkulasi akhirnya bisa fifty-fifty. Bisa positif tapi bisa pula negatif, semuanya tergantung dari kemampuan kita meningkatkan produksi dalam negeri.

Jika produksi minyak mentah bisa ditingkatkan tentu akan menolong penerimaan APBN. Sayangnya, kenaikan produksi tampaknya sulit digenjot, bisa-bisa produksi kita malah kurang dari 1 juta barrel per hari. Sementara subsidi tetap harus digelontorkan. Jika harga minyak menembus angka US$100 AS per barel dan berlangsung lama pada 2008, bisa ditebak bahwa perekonomian kita bakal kelabakan.

Bukan itu saja, kenaikan harga minyak juga akan meningkatkan harga-harga di pasar global, akibatnya tentu inflasi yang membubung tinggi. Inflasi biasanya direspons oleh bank-bank di negara maju untuk meningkatkan suku bunga. Ini sangat berbahaya, apalagi pasar modal yang terlihat paling sensitif akibat situasi seperti ini sudah memberikan sinyal-sinyal negatif.

Kami menyarankan, mestinya pemerintah tidak meremehkan situasi global seperti ini. Akan lebih bijaksana jika menteri-menteri ekonomi terkait segera mengambil langkah-langkah antisipasi kalau-kalau terjadi dampak buruk atas kenaikan harga minyak. Syukur-syukur pejabat kita bisa mendeteksi lebih dini untuk mencegah hadirnya dampak buruk situasi global tersebut. Semoga.

Rabu, 10 Oktober 2007

Belajar dari Insiden Pengusiran Konglomerat oleh DPR

[Sinar Harapan] - Suhu ruang rapat Komisi VII DPR yang membidangi masalah lingkungan hidup berlangsung panas. Pertemuannya dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP)—perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto—diwarnai kecaman di sana-sini. Soalnya, jawaban tertulis yang seharusnya diterima oleh anggota Komisi VII pada Kamis (4/10) ternyata baru dibagikan Senin (8) pada saat Rapat Dengar Pendapat.

Wakil rakyat semakin kecewa lantaran perusahaan di lingkungan Raja Garuda Mas (RGM) Group itu ternyata tidak melampirkan semua data yang diminta oleh Komisi Lingkungan, terutama data citra satelit atau foto udara tentang jumlah kapasitas Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kondisi lapangan. Pemaparan juga tidak dilakukan langsung oleh pimpinan puncak RAPP.

Untunglah, pemimpin rapat, Sony Keraf dengan bijaksana meminta rapat ditunda sehingga direksi bisa mempelajari jawaban yang harus dipersiapkan atas pertanyaan dewan. Rapat dengan RAPP ini terbilang unik, karena sering ditunda-tunda.

Dalam konteks ini, tentu saja ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik oleh perusahaan-perusahaan konglomerat lainnya Pertama, sebaiknya konglomerat tidak melecehkan kelembagaan DPR-RI dengan jalan memberikan jawaban-jawaban yang relevan sesuai dengan kebutuhan anggota dewan. Hal ini penting dikedepankan, apalagi Komisi Lingkungan sangat berkepentingan terhadap kelestarian hutan bagi masa depan bangsa.

Kedua, perusahaan-perusahaan konglomerat sebaiknya ikut mendukung penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), sehingga dalam menyampaikan pemaparan kepada anggota DPR atau kepada siapa pun tidak terkesan menyembunyikan informasi.
Mudah-mudahan bila dua hal ini dijadikan pelajaran yang baik, perusahaan di lingkungan konglomerat lainnya tidak akan mengalami nasib tragis seperti RAPP ini. Semoga.