Sabtu, 29 September 2007

Kita Tidak Menghargai Mantan Presiden?

[Bisnis Indonesia] - Berita mengenai kegagalan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengunjungi korban gempa di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat (Sumbar), untuk memberikan bantuan kepada korban gempa sungguh sangat memprihatinkan.

Akibatnya, hingga saat ini timbul tanda tanya: mengapa pemerintah tidak menghargai mantan presidennya?

Seperti diberitakan luas, termasuk media kita ini, Danrem 032 Wirabraja Kolonel TNI Bambang Subagyo dan Danlanud Tabing Padang Letkol Pnb Sugiharto di Bandara Minangkabau Padang menyampaikan bahwa Mabes TNI melarang penggunaan helikopter yang akan digunakan oleh Megawati.

Tentu saja pelarangan sangat mengherankan. Mengapa upaya warga negara yang kebetulan mantan presiden ingin membantu korban bencana kok mesti dihalang-halangi seperti ini.

Rabu, 26 September 2007

Audit MA: Arogansi Institusi

[Detik Dotcom] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu mendapat dukungan publik secara luas. Sebagaimana manusia pada umumnya para pejabat MA juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Apalagi BPK merasa dihalangi ketika akan melakukan audit soal pungutan biaya perkara yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.

Keberatan MA tersebut mengherankan karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Sikap MA yang tidak kooperatif untuk diaudit oleh BPK sangat disesalkan. Padahal jika tidak ada persoalan seharusnya MA dengan sikap ksatria tidak mempermasalahkan soal audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara sebagaimana yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya.

Penolakan yang dilakukan oleh MA semakin menjatuhkan image MA karena tidak transparan dan tidak akuntable. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara. Sudah sepantasnya kita semua menyemangati BPK untuk tidak kendor melawan arogansi institusi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini.

Justru seharusnya mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY.

Sabtu, 22 September 2007

Mendukung BPK Soal Audit Pungutan Biaya Perkara MA

[Sinar Harapan] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu didukung publik. Sebab, sebagaimana manusia pada umumnya, para pejabat MA juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Apalagi BPK telah dihalangi ketika akan mengaudit pungutan biaya perkara – yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier — seperti diberitakan media ini—BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat

Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.
Keberatan MA tersebut mengherankan, karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Kami dan Indonesian Good Governance Care (IGCC) sangat menyesalkan sikap MA itu. Seharusnya, bila memang tidak ada persoalan, MA dengan sikap ksatria mengizinkan audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara – sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya. Penolakan ini, semakin menjatuhkan citra MA karena tidak transparan dan tidak akuntabel. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara.

Jadi, BPK jangan kendor melawan arogansi MA. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini, dan mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik, yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY.