Rabu, 05 Maret 2008

Rasionalitas Penolakan Cagub BI oleh DPR RI

[Detik Dotcom]- Gubernur Bank Indonesia (BI) memiliki tanggung jawab urusan devisa dan harus mampu membangun persepsi yang baik sehingga ada jaminan stabilitas moneter. Sebaliknya, jika yang diusulkan adalah orang yang bisa trading saja maka perkembangan bank sentral ke depan bakal terancam.

Demikian, antara lain argumentasi Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP (seperti dikutip media) yang menolak calon Gubernur BI dari pemerintah.

Dengan demikian alasan penolakan DPR RI terhadap calon gubernur BI sebenarnya masuk akal dan rasional. Tidak ada salahnya jika pemerintah mengedepankan sikap legowo dan rendah hati untuk menyikapi penolakan DPR RI terhadap Dirut Bank Mandiri Agus Martowardoyo dan Wakil Dirut Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Raden Pardede.

Pemerintah tidak perlu menyikapi penolakan fraksi-fraksi DPR RI tersebut secara emosional. Namun, sepantasnya disikapi bijaksana dan dengan kepala dingin. Bagaimana pun sejarah adalah guru yang baik. Di dunia mana pun jarang terjadi organisasi bank sentral yang seharusnya independent tiba-tiba kemudian dipimpin oleh mantan dirut bank umum.

Di Indonesia pun belum ada sejarahnya BI dipimpin oleh mantan dirut bank umum, BUMN sekalipun. Nama-nama terkenal seperti Radius Prawiro (Alm), Rachmat Saleh, Arifin M. Siregar, Adrianus Mooy, Soedradjad Djiwaddono, Syahril Sabirin, dan Burhanudin Abdullah (pejabat sekarang) merupakan firgur Gubernur BI yang tidak berasal dari pejabat bank umum.

Mengapa demikian? Tentu tujuannya adalah untuk menghindari conflict of interest atau benturan kepentingan. Pertanyaannya apakah kita akan menganut paham konvensional seperti yang dianut oleh negara-negara di dunia pada umumnya. Ataukah kita akan menjungkirbalikkan paham konsensional yang sudah ada? Silahkan tanya pada rumput yang bergoyang ...

Jumat, 07 Desember 2007

Dirjen Pajak jangan kecil hati

[Bisnis Indonesia] - Belum lama ini Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Darmin Nasution didemo oleh pengunjuk rasa yang menuntut agar pemerintah mengusut tuntas persekongkolan manipulasi harga jual dan keuntungan perusahaan batu bara serta mengusut keterlibatan aparat pajak yang terindikasi penggelapan pajak.

Kami memprediksi, ke depan intensitas demo seperti ini akan lebih dilakukan di depan Kantor Ditjen Pajak dengan berbagai motivasi. Misalnya faktor persaingan usaha, tetapi bisa juga merupakan upaya untuk pengalihan isu penggelapan pajak yang lebih besar. Meskipun demikian, secara positive thinking kita bisa melihatnya sebagai bentuk kepedulian rakyat terhadap penerimaan pajak.

Namun terlepas dari semuanya itu, aksi demo seperti ini seharusnya tidak membuat kecil hati atau pun melemahkan semangat Dirjen Pajak dan jajaran aparat pajak. Justeru bisa dijadikan vitamin bagi Dirjen Pajak dan jajarannya untuk mendorong tegaknya law enforcement di bidang perpajakan.

Seperti diketahui, Dirjen Pajak saat ini sedang menghadapi mega kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri yang diberitakan mencapai lebih dari Rp1,3 triliun.

Tentu saja, hal ini akan menjadi prestasi yang luar biasa bagi Ditjen Pajak apabila aparatnya berhasil membuktikan dugaan penggelapan pajak tersebut. Apalagi Menkeu Sri Mulyani secara pesimistis sudah memberikan warning kepada aparat Ditjen Pajak bahwa kinerja mereka belum maksimal. Penilaiannya ini tentu berkaitan dengan upaya pencapaian target pendapatan yang dihimpun dari penerimaan pajak belum memenuhi harapan.

Kami mengharapkan Dirjen Pajak dan aparatnya semakin semangat dan bekerja efektif untuk membekuk pengusaha penggelap pajak yang menggerogoti keuangan negara dan bangsa?

Kamis, 25 Oktober 2007

Pemerintah meremehkan kenaikan harga minyak

[Bisnis Indonesia] - Pernyataan-pernyataan pemerintah, baik Wapres Jusuf Kalla maupun Menko Perekonomian Boediono terkesan meremehkan dampak kenaikan harga minyak. Akan lebih bijaksana jika pemerintah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi yang matang. Kita tidak boleh meremehkan dampak kenaikan harga minyak dunia saat ini.

Mungkin saja dampak fiskal kenaikan harga minyak bisa dikendalikan pada jangka pendek, apalagi penerimaan fiskal memang meningkat. Namun jangan lupa, subsidi minyak juga akan bertambah. Artinya, kalkulasi akhirnya bisa fifty-fifty. Bisa positif tapi bisa pula negatif, semuanya tergantung dari kemampuan kita meningkatkan produksi dalam negeri.

Jika produksi minyak mentah bisa ditingkatkan tentu akan menolong penerimaan APBN. Sayangnya, kenaikan produksi tampaknya sulit digenjot, bisa-bisa produksi kita malah kurang dari 1 juta barrel per hari. Sementara subsidi tetap harus digelontorkan. Jika harga minyak menembus angka US$100 AS per barel dan berlangsung lama pada 2008, bisa ditebak bahwa perekonomian kita bakal kelabakan.

Bukan itu saja, kenaikan harga minyak juga akan meningkatkan harga-harga di pasar global, akibatnya tentu inflasi yang membubung tinggi. Inflasi biasanya direspons oleh bank-bank di negara maju untuk meningkatkan suku bunga. Ini sangat berbahaya, apalagi pasar modal yang terlihat paling sensitif akibat situasi seperti ini sudah memberikan sinyal-sinyal negatif.

Kami menyarankan, mestinya pemerintah tidak meremehkan situasi global seperti ini. Akan lebih bijaksana jika menteri-menteri ekonomi terkait segera mengambil langkah-langkah antisipasi kalau-kalau terjadi dampak buruk atas kenaikan harga minyak. Syukur-syukur pejabat kita bisa mendeteksi lebih dini untuk mencegah hadirnya dampak buruk situasi global tersebut. Semoga.

Rabu, 10 Oktober 2007

Belajar dari Insiden Pengusiran Konglomerat oleh DPR

[Sinar Harapan] - Suhu ruang rapat Komisi VII DPR yang membidangi masalah lingkungan hidup berlangsung panas. Pertemuannya dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP)—perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto—diwarnai kecaman di sana-sini. Soalnya, jawaban tertulis yang seharusnya diterima oleh anggota Komisi VII pada Kamis (4/10) ternyata baru dibagikan Senin (8) pada saat Rapat Dengar Pendapat.

Wakil rakyat semakin kecewa lantaran perusahaan di lingkungan Raja Garuda Mas (RGM) Group itu ternyata tidak melampirkan semua data yang diminta oleh Komisi Lingkungan, terutama data citra satelit atau foto udara tentang jumlah kapasitas Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kondisi lapangan. Pemaparan juga tidak dilakukan langsung oleh pimpinan puncak RAPP.

Untunglah, pemimpin rapat, Sony Keraf dengan bijaksana meminta rapat ditunda sehingga direksi bisa mempelajari jawaban yang harus dipersiapkan atas pertanyaan dewan. Rapat dengan RAPP ini terbilang unik, karena sering ditunda-tunda.

Dalam konteks ini, tentu saja ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik oleh perusahaan-perusahaan konglomerat lainnya Pertama, sebaiknya konglomerat tidak melecehkan kelembagaan DPR-RI dengan jalan memberikan jawaban-jawaban yang relevan sesuai dengan kebutuhan anggota dewan. Hal ini penting dikedepankan, apalagi Komisi Lingkungan sangat berkepentingan terhadap kelestarian hutan bagi masa depan bangsa.

Kedua, perusahaan-perusahaan konglomerat sebaiknya ikut mendukung penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), sehingga dalam menyampaikan pemaparan kepada anggota DPR atau kepada siapa pun tidak terkesan menyembunyikan informasi.
Mudah-mudahan bila dua hal ini dijadikan pelajaran yang baik, perusahaan di lingkungan konglomerat lainnya tidak akan mengalami nasib tragis seperti RAPP ini. Semoga.

Sabtu, 29 September 2007

Kita Tidak Menghargai Mantan Presiden?

[Bisnis Indonesia] - Berita mengenai kegagalan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri mengunjungi korban gempa di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat (Sumbar), untuk memberikan bantuan kepada korban gempa sungguh sangat memprihatinkan.

Akibatnya, hingga saat ini timbul tanda tanya: mengapa pemerintah tidak menghargai mantan presidennya?

Seperti diberitakan luas, termasuk media kita ini, Danrem 032 Wirabraja Kolonel TNI Bambang Subagyo dan Danlanud Tabing Padang Letkol Pnb Sugiharto di Bandara Minangkabau Padang menyampaikan bahwa Mabes TNI melarang penggunaan helikopter yang akan digunakan oleh Megawati.

Tentu saja pelarangan sangat mengherankan. Mengapa upaya warga negara yang kebetulan mantan presiden ingin membantu korban bencana kok mesti dihalang-halangi seperti ini.

Rabu, 26 September 2007

Audit MA: Arogansi Institusi

[Detik Dotcom] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu mendapat dukungan publik secara luas. Sebagaimana manusia pada umumnya para pejabat MA juga manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Apalagi BPK merasa dihalangi ketika akan melakukan audit soal pungutan biaya perkara yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.

Keberatan MA tersebut mengherankan karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Sikap MA yang tidak kooperatif untuk diaudit oleh BPK sangat disesalkan. Padahal jika tidak ada persoalan seharusnya MA dengan sikap ksatria tidak mempermasalahkan soal audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara sebagaimana yang sudah dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya.

Penolakan yang dilakukan oleh MA semakin menjatuhkan image MA karena tidak transparan dan tidak akuntable. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara. Sudah sepantasnya kita semua menyemangati BPK untuk tidak kendor melawan arogansi institusi. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini.

Justru seharusnya mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY.

Sabtu, 22 September 2007

Mendukung BPK Soal Audit Pungutan Biaya Perkara MA

[Sinar Harapan] - Langkah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan Mahkamah Agung (MA) kepada Kepolisian RI (Polri) perlu didukung publik. Sebab, sebagaimana manusia pada umumnya, para pejabat MA juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Apalagi BPK telah dihalangi ketika akan mengaudit pungutan biaya perkara – yang seharusnya merupakan bagian dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Mengutip keterangan Kepala Direktorat Utama Revbang BPK RI Daeng M Natzier — seperti diberitakan media ini—BPK menilai Sekretaris MA Rum Nessa melakukan perbuatan mencegah, menghalangi, dan menggagalkan pemeriksaan biaya perkara. Penghalangan audit dilakukan dengan adanya surat

Sekretaris MA No 314/SEK/01/VIII/2007 tanggal 30 Agustus, tentang keberatannya untuk diperiksa dan diaudit BPK.
Keberatan MA tersebut mengherankan, karena BPK hanya menjalankan amanat UUD 1945 dan UU Keuangan Negara untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani juga sependapatan dengan BPK yang menilai pungutan di MA termasuk PNBP.

Kami dan Indonesian Good Governance Care (IGCC) sangat menyesalkan sikap MA itu. Seharusnya, bila memang tidak ada persoalan, MA dengan sikap ksatria mengizinkan audit ini. Bahkan tanpa diminta pun seharusnya menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Keuangan Negara – sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya. Penolakan ini, semakin menjatuhkan citra MA karena tidak transparan dan tidak akuntabel. Bukan itu saja, kita juga curiga ada apa-apa dalam pengelolaan pungutan biaya perkara.

Jadi, BPK jangan kendor melawan arogansi MA. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepantasnya tidak menutup-nutupi masalah ini, dan mendorong BPK untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. BPK sudah mengawalinya dengan langkah cantik, yaitu melaporkan MA kepada Polri. Bola kini ada di tangan Kapolri dan tentu saja Presiden SBY.